MAKALAH HADITS
“Keimanan”
Dosen Pembimbing :
Hj. Nunung Khoiriyah
Disusun Oleh :
Muchamad Santoso
Nur Asiah Aisyah Zaldi
Rusnawati Sani
Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Kata Pengantar
Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah
memberikan nikmat dan karunia – Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah dengan judul “Keimanan”
Shalawat serta salam tidak lupa
penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW. beserta keluarga dan kerabatnya yang
telah membawa kita dari jaman kegelapan ke jaman yang terang benderang ini.
Setiap umat
islam memiliki tingkat keimanan yang berbeda satu
dengan yang lainnya, sehingga banyak hadits yang menerangkan kepada umat muslim
mengenai keimanan itu sendiri. Oleh karena itu, penulis akan membahasnya pada
makalah ini.
Dalam
penulisan makalah ini penulis mendapatkan beberapa bantuan dari berbagai pihak
oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1.
Ibu Hj. Nunung Khoiriyah selaku dosen yang telah membantu penulis dalam penulisan makalah
ini.
2.
Teman – teman yang telah memberikan dukungan.
3.
Serta semua pihak yang tidak tersebutkan oleh penulis satu per
satu.
Jakarta, 20
September 2014
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan
ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan
ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam
selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits
merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.
Ada banyak ulama periwayat hadits,
namun yang sering dijadikan referensi hadits-haditsnya ada tujuh ulama, yakni
Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Ahmad, Imam
Nasa'i, dan Imam Ibnu Majah.
Islam sebagai agama yang sempurna yang mengatur
disegala aspek kehidupan seorang anak manusia. Selain Al-Qur’an, umat Islam
juga memiliki tuntunan lain sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan di dunia
ini, yaitu As-Sunnah (ucapan, perbuatan dan sikap) yang telah diteladani oleh
Rasulullah SAW.
Berangkat dari penjelasan di atas, maka sangatlah
penting bagi umat Islam untuk memahami dan mempelajari hadits (As-Sunnah) agar
dapat menentukan mana hadits yang dapat menjadi landasan hukum dalam berbagai
persoalan yang dihadapi umat manusia.
2.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian dari Iman?
2.
Apa
yang menyebabkan iman dan islam seseorang berkurang?
3.
Jelaskan
mengenai rasa malu yang merupakan bagian dari iman?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Iman
Menurut bahasa, iman berarti pembenaran
hati. Adapun menurut istilah, iman adalah:
تَصْدِيْقٌ
بِاْلقَلْبِ، وَإِقْرَارٌ بِاللِّسَانِ، وَعَمَلٌ بِاْلأَرْكَانِ
“Membenarkan dengan hati, mengikrarkan
dengan lisan, mengamalkan dengan anggota badan”
“Membenarkan dengan hati”
maksudnya menerima segala yang dibawa Rasulullah. ”Mengikrarkan dalam
islam” maksudnya mengucapkan
dua kalimat syahadat. Dan
“Mengamalkan dengan
anggota badan”
maksudnya hati mengamalkan dengan bentuk keyakinan, sementara anggota badan
mengamalkan dalam bentuk ibadah-ibadah yang sesuai dengan fungsinya. Iman
terbagi menjadi dua bagian:
1. Iman yang samar (khafi), yaitu berkaitan
dengan niat
2. Iman yang tampak (jali), yaitu seperti
membaca al-Qur’an, Shalat, puasa, zakat, haji, jihad dijalan Allah.
A. Iman kepada Allah
Iman kepada Allah
adalah keyakinan yang sesungguhnya bahwa Allah adalah satu, esa, sendiri,
tempat bergan-tung, tidak beranak, dan tidak diperanakan. Beriman kepada Allah
juga termasuk beriman dengan segala apa yang ia kabarkan daam kitab suci-Nya
atau apa yang diceritakan oleh rasul-Nya tentang Asma dan Sifat-sifatnya.
Kaidah dalam memahami
Asma dan Sifat Allah adalah dengan menetapkan apa yangb Allah tetapkan atas
diri-Nya dalam al-Qur’an atau yang ditetapkan oleh Rasul-Nya bagi Allah, tanpa tahrif,
tanpa ta’thil, tanpa takyif, dan tanpa tamtsil, yaitu:
1. Tahrif: Menafsirkan nash-nash dengan
makna yang tidak ditunjukkan oleh nash tersebut dari segi mana pun. Contoh:
menafsirkan makna “Tangan Allah” dan memalingkannya, maksudnya, mengartikannya
dengan kekuasaan dan nikmat.
2. Ta’thil: Mengingkari makna yang benar
yang ditunjukkan oleh al-Kitab dan as-Sunnah. Contoh : Tentang “Tangan Allah”,
mereka menafikan Allah mempunyai tangan, padahal hal tersebut telah dijelaskan
dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
3. Takyif: Menanyakan tentang sifat Allah
dan membahas tentang hakikatnya. Contoh : menanyakan bagaimana “Tangan Allah”,
bagaimana Allah bersemayam di atas Arsy-Nya, bagaimana Wajah-Nya.
4. Tamtsil: Mengatakan bahwa sifat Allah
seperti sifat makhluk-Nya. Contoh : Allah tertawa; tidak boleh menyamakan
tertawa Allah dengan tertawa makhluk-Nya.
B. Iman kepada Malaikat
Meyakini secara pasti bahwa Allah
mempunyai para malaikat yang diciptakanya dari cahaya, tidak pernah mendurhakai
apa yang Allah perintahkan kepada mereka, dan mengerjkan setiap perintah yang
Allah titahkan kepada mereka. Dalil yang mewajbkan beriman kepada malaikat:
z`tB# ãAqߧ9$# !$yJÎ/ tAÌRé& Ïmøs9Î) `ÏB ¾ÏmÎn/§ tbqãZÏB÷sßJø9$#ur 4 <@ä. z`tB#uä «!$$Î/ ¾ÏmÏFs3Í´¯»n=tBur ¾ÏmÎ7çFä.ur ¾Ï&Î#ßâur ….
ÇËÑÎÈ
“Rasul telah beriman kepada al-Quran
yang diturunkan kepadanya dari tuhannya. Demikian pula orang-orang yang
beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan
rasul-rasul-Nya” (al-Baqarah [2]: 285)
C. Beriman kepada kitab Allah
Iman kepada kitab-kitab
Allah adalah membenarkan dengan penuh keyakinan bahwa Allah mempunyai
kitab-kitab yang diturunkan kepada hamba-hamba-Nya dengan kebenaran yang nyata
dan petunjuk yang jelas. Al-Quran adalah
kalamullah yang dia firmankan dengan sebenarnya, seperti apa yang ia kehendaki
dan menurut apa yang dia ingini. Al-Qur’an sendiri datang dengan syariat yang
universal, berlaku umum, untuk setiap zaman dan tempat, menghapus syariat
sebelumnya. Dan wajib diikuti oleh setiap orang yang mendengar kabarnya. Sampai
Hari Kiamat. Allah tidak menerima agama dari siapa pun selainnya setelah
al-Qur’an diturunkan.
D. Beriman Kepada Para Rasul
Pengertian
Nabi dibagi menjadi dua:
1. Menurut bahasa, Nabi berasal dari kata wa
an baa a/ nabba, yang berati akhbara (Mengabarkan).
2. Menurut istilah, Nabi adalah seorang
laki-laki yang diberi wahyu oleh Alah berupa syariat yang terdahulu, dan di
mengajarkan kepada orang-orang disekitarnya dari umatnya.
Dan juga pengertian Rasul dibagi menjadi
dua:
1. Secara bahasa, Rasul adalah orang yang
mengikuti berita – berita
orang yang mengutusnya; diambil dari ja at al-ibilu rasala ‘unta itu
datang beriringan’
2. Secara istilah, Rasul adalah seorang
laki-laki medeka yang diberi wahyu oleh Allah dengan membawa syriah dan dia
perintahkan untuk menyampaikannya kepada umat-umatnya.
Adapun perbeaan antara nabi dan rasul adalah:
1. Kenabian (nubuwah) adalah syarat kerasulan.
Maka, tidak bisa menjadi Rasul
orang yang bukan Nabi.
Kenabian lebih umum dari pada kerasulan. Setiap Rasul pasti nabi, tetapi tidak setiap Nabi adalah Rasul.
2. Rasul membawa risalah kepada orang yang
tidak mengerti tentang agama dan syariat Allah. Adapun nabi dutus dengan dakwah
kepada syariat nabi atau rasul sebelumnya.
E. Beriman kepada Hari
Akhir
Meyakini dengan pasti
kebenaran setiap hal yang diberitakan oleh Allah dalam kitab suci-Nya dan
setiap hal yang diberitakan oleh rasul-Nya berupa kehidupan setelah kematian
meliputi: fitnah kubur, adzab dan nikmat kubur, dibangkitkannya manusia dari
kubur, padang masyar, catatan amal (shuhuf), hisab, mizan, surga dan neraka.
ô`tB… z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# @ÏJtãur $[sÎ=»|¹ öNßgn=sù öNèdãô_r& yYÏã óOÎgÎn/u öÇÏËÈ
62. “… Siapa saja diantara
mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan
beramal saleh, mereka
akan menerima pahala dari Tuhan mereka…”
(Al
– Baqarah [2] : 62)
F. Iman pada qadha’ dan
Qadar
Menurut bahasa qadha’:
Hukum (حكم) artinya قضى – يقضي – قضاء ‘Menghukumi, memutuskan’ atau dapat diartikan sebagai
perintah, dan khabar.
Sedangkan menurut istilah:
Hukum Allah yang telah Dia tentukan untuk alam semesta ini, dan Dia jalankan
alam semesta ini dengan konsekuensi hukumnya dari sunnah-sunnah yang dikaitkan
sebab akibatnya.
Menurut bahasa qadar
: Menetapkan. Dan menurut istilah : Qadar yaitu ketetapan atau ketentuan
Allah sejak zaman azali yang telah di tulis Allah di catatan Lauh Mahfudz dan
tidak ada satu mahluk pun yang dapat merubahnya.
2.
Berkurangnya Iman
Dan Islam Karena Maksiat
Abu Hurairah mengatakan
bahwa Nabi Muhammad bersabda : ”Tidak akan berzinah seorang penzinah di waktu
bezinah jika ia beriman. Tidak akan minum khamar seseoang diwaktu ia meminum
jika ia beriman. Tidak akan mencur seseorang diwaktu dia mencuri jika ia
beriman.” (Diriwayatkan al Bukhari)
Ulama ahlus-sunnah
mengatakan: “Orang yang melakukan kemaksiatan itu berkurang imannya, atau beriman
dengan imannya dan fasik dengan dosa besarnya. Tidak dikatakan iman secara
mutlak dan tidak dicabut keimanannya karena maksiat secara mutlak.”
Imam Sufyan ats-Tsaury
ditanya: “Apakah iman bertambah dan berkurang?” beliau menjawab dengan ayat :
öNèdöqt±÷z$$sù… öNèdy#tsù $YZ»yJÎ) (#qä9$s%ur $uZç6ó¡ym ª!$# zN÷èÏRur ã@Å2uqø9$# ÇÊÐÌÈ
“... Maka, perkataan
itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab : ‘ Cukuplah Allah menjadi
penolong kami dan Allah lah sebaik – baik pelindung ‘.” (Ali
Imran [3] : 17)
öNåk¨XÎ)… îpu÷FÏù (#qãZtB#uä óOÎgÎn/tÎ/ óOßg»tR÷Îur Wèd ÇÊÌÈ
“... Sesungguhnya, mereka itu adalah
pemuda – pemuda yang beriman kepada Rabb mereka dan kami tambahkan kepada
mereka petunjuk.” (Al Kahfi : 13)
Allah membagi kaum mukminin menjadi
dalam tiga tingkatan iman :
1. Tingkatan yang lebih dahulu mengerjakan
kebaikan.
2. Tingkatan orang – orang yang pertenghan.
3. Tingkatan orang – orang yang berbuat
dzalim terhadap dirinya.
3. Rasa Malu Sebagian Dari Iman
عَنْ سَالِمِ بْنِ
عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - مَرَّ
عَلَى رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِى الْحَيَاءِ ، فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الإِيمَان
“Dari
Salim bin Abdullah, dari ayahnya, ia berkata, "Rasulullah SAW lewat di
hadapan seorang Ansar yang sedang mencela saudaranya karena saudaranya pemalu.
Maka Rasulullah SAW bersabda, 'Biarkan dia! Sesungguhnya malu itu sebagian dari
iman.'" (Diriwayatkan al Bukhari)
Abu
Hatim berkata : “Wajib bagi orang yang berakal membiasakan diri untuk bersikap
malu terhadap sesama manusia. Diantara barakah termulia yang di dapat dari
membiasakan diri dari sikap malu adalah akan terbiasa berperilaku terpuji dan
menjauhi perilaku tercela. Disamping itu, barakah yang lain adalah selamat dari
api neraka, yakni dengan senantiasa malu saat mau melakukan sesuatu yang
dilarang Allahh. Karena, Bani Adam mempunyai tabiat baik dan buruk saat
bermuamalah dengan Allah dan saat berhubungan sosial dengan orang lain.”
Para
ulama berbeda pendapat tentang kuat dan lemahnya malu. Sebagian ulama
berpendapat bahwa rasa malu berdasarkan hidup dan matinya hati. Jika hati
hidup, sempurnalah rasa malu; begitupun sebaliknya.
A. Allah maha mengetahui lagi maha melihat
Allah berfirman :
óOs9r& Ls>÷èt ¨br'Î/ ©!$# 3tt ÇÊÍÈ
“Tidakkah dia mengetahui bahwa
sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya.”
(Al- Alaq [96] : 14)
¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3øn=tæ $Y6Ï%u ÇÊÈ
“Sesungguhnya, Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu.” (An-Nisa [4]: 1)
Hamba yang beriman dan meyakini Allah
Maha Mendengar, Maha Melihat, dan Maha Mengetahui segala sesuatu baik yang
besar maupun yang kecil, atau lebih dari itu bahwa Allah mengetahui pandangan
mata yang berkhianat dan apa yang disembunyikan oleh hati akan tumbuh dalam
dirinya sifat malu.
1) Rasa Malu akan mendatangkan kebaikan
Umran bin Hasan meriwayatkan bahwa
Rasulullah bersabda:
الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي
إِلَّا بِخَيْرٍ
“Rasa
malu itu mendatangkan kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari ‘Imron bin
Hushain)
Bila rasa malu menghalangi seseorang
dari hal-hal buruk, tidak diragukan lagi itu merupakan sifat terpuji yang
membawa kebaikan. Bagi orang yang berniat berbuat buruk akan dicegah oleh rasa
malunya agar tidak melakukan hal tersebut. Atau ketika dicela orang, rasa malu
akan melarangnya membalas keburukan dengan keburukan yang sama.
1) Malu bagian dari iman
Abdullah bin Umar berkata: “Nabi
Muhammad SAW. Melewati seseorang yang mencela saudaranya yang malu, ‘kenapa
engkau malu?’ seakan dia mengatakan malu membahayakannya. Maka, Rasulullah
bersabda:
دَعْهُ فَإِنَّ
الْحَيَاءَ مِنَ الإِيمَانِ
‘Biarkanlah dia, sesungguhnya rasa malu
adalah bagian dari iman’.”(Diriwayatkan al Bukhari)
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Keimanan merupakan suatu keyakinan atas pembenaran hatinya dengan
mengucapkan dua kalimat syahadat serta mengamalkan atas apa yang diyakininya
tersebut. Lalu, keimanan seseorang dapat bertambah dan dapat pula berkurang. Dimana
keimanan seseorang bertambah apabila orang tersebut taat atas perintah – Nya,
dan sebaliknya keimanan dapat berkurang apabila orang tersebut berbuat
kemaksiatan.
2.
Kritik dan Saran
Demikianlah
makalah ini kami buat. Kami menyadari masih banyak kesalahan dan kekurangan
dalam makalah ini, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari saudara/I agar menjadi makalah yang lebih baik. Sehingga ilmu yang
terdapat dalam makalah ini dapat memberi kita pemahaman dan manfaat dunia dan
akhirat (amin).
DAFTAR PUSTAKA
Musyarrofah, Umi. Hadits Dakwah & Komunikasi.
Pondok Gede : Tasnim, 2012.