Sabtu, 03 Mei 2014

Makalah Hadits tentang keimanan

MAKALAH HADITS
“Keimanan”



Dosen Pembimbing :
Hj. Nunung Khoiriyah


Disusun Oleh :
Muchamad Santoso
Nur Asiah Aisyah Zaldi
Rusnawati Sani 





Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Kata Pengantar
            Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan nikmat dan karunia – Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Keimanan
            Shalawat serta salam tidak lupa penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW. beserta keluarga dan kerabatnya yang telah membawa kita dari jaman kegelapan ke jaman yang terang benderang ini.
            Setiap umat islam memiliki tingkat keimanan yang berbeda satu dengan yang lainnya, sehingga banyak hadits yang menerangkan kepada umat muslim mengenai keimanan itu sendiri. Oleh karena itu, penulis akan membahasnya pada makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis mendapatkan beberapa bantuan dari berbagai pihak oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1.      Ibu Hj. Nunung Khoiriyah selaku dosen yang telah membantu penulis dalam penulisan makalah ini.
2.      Teman – teman yang telah memberikan dukungan.
3.      Serta semua pihak yang tidak tersebutkan oleh penulis satu per satu.


Jakarta, 20 September 2014
Penulis            



BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.
Ada banyak ulama periwayat hadits, namun yang sering dijadikan referensi hadits-haditsnya ada tujuh ulama, yakni Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Ahmad, Imam Nasa'i, dan Imam Ibnu Majah.
Islam sebagai agama yang sempurna yang mengatur disegala aspek kehidupan seorang anak manusia. Selain Al-Qur’an, umat Islam juga memiliki tuntunan lain sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan di dunia ini, yaitu As-Sunnah (ucapan, perbuatan dan sikap) yang telah diteladani oleh Rasulullah SAW.

Berangkat dari penjelasan di atas, maka sangatlah penting bagi umat Islam untuk memahami dan mempelajari hadits (As-Sunnah) agar dapat menentukan mana hadits yang dapat menjadi landasan hukum dalam berbagai persoalan yang dihadapi umat manusia.
2.      Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari Iman?
2.      Apa yang menyebabkan iman dan islam seseorang berkurang?
3.      Jelaskan mengenai rasa malu yang merupakan bagian dari iman?




BAB II
PEMBAHASAN
1.      Iman
Menurut bahasa, iman berarti pembenaran hati. Adapun menurut istilah, iman adalah:
تَصْدِيْقٌ بِاْلقَلْبِ، وَإِقْرَارٌ بِاللِّسَانِ، وَعَمَلٌ بِاْلأَرْكَانِ
Membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan, mengamalkan dengan anggota badan”
Membenarkan dengan hati” maksudnya menerima segala yang dibawa Rasulullah. ”Mengikrarkan dalam islam maksudnya mengucapkan dua kalimat syahadat. Dan “Mengamalkan dengan anggota badan maksudnya hati mengamalkan dengan bentuk keyakinan, sementara anggota badan mengamalkan dalam bentuk ibadah-ibadah yang sesuai dengan fungsinya. Iman terbagi menjadi dua bagian:
1.      Iman yang samar (khafi), yaitu berkaitan dengan niat
2.      Iman yang tampak (jali), yaitu seperti membaca al-Qur’an, Shalat, puasa, zakat, haji, jihad dijalan Allah.

A.    Iman kepada Allah
Iman kepada Allah adalah keyakinan yang sesungguhnya bahwa Allah adalah satu, esa, sendiri, tempat bergan-tung, tidak beranak, dan tidak diperanakan. Beriman kepada Allah juga termasuk beriman dengan segala apa yang ia kabarkan daam kitab suci-Nya atau apa yang diceritakan oleh rasul-Nya tentang Asma dan Sifat-sifatnya.
Kaidah dalam memahami Asma dan Sifat Allah adalah dengan menetapkan apa yangb Allah tetapkan atas diri-Nya dalam al-Qur’an atau yang ditetapkan oleh Rasul-Nya bagi Allah, tanpa tahrif, tanpa ta’thil, tanpa takyif, dan tanpa tamtsil, yaitu:
1.      Tahrif: Menafsirkan nash-nash dengan makna yang tidak ditunjukkan oleh nash tersebut dari segi mana pun. Contoh: menafsirkan makna “Tangan Allah” dan memalingkannya, maksudnya, mengartikannya dengan kekuasaan dan nikmat.
2.      Ta’thil: Mengingkari makna yang benar yang ditunjukkan oleh al-Kitab dan as-Sunnah. Contoh : Tentang “Tangan Allah”, mereka menafikan Allah mempunyai tangan, padahal hal tersebut telah dijelaskan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
3.      Takyif: Menanyakan tentang sifat Allah dan membahas tentang hakikatnya. Contoh : menanyakan bagaimana “Tangan Allah”, bagaimana Allah bersemayam di atas Arsy-Nya, bagaimana Wajah-Nya.
4.      Tamtsil: Mengatakan bahwa sifat Allah seperti sifat makhluk-Nya. Contoh : Allah tertawa; tidak boleh menyamakan tertawa Allah dengan tertawa makhluk-Nya.

B.     Iman kepada Malaikat

Meyakini secara pasti bahwa Allah mempunyai para malaikat yang diciptakanya dari cahaya, tidak pernah mendurhakai apa yang Allah perintahkan kepada mereka, dan mengerjkan setiap perintah yang Allah titahkan kepada mereka. Dalil yang mewajbkan beriman kepada malaikat:
z`tB# ãAqߧ9$# !$yJÎ/ tAÌRé& Ïmøs9Î) `ÏB ¾ÏmÎn/§ tbqãZÏB÷sßJø9$#ur 4 <@ä. z`tB#uä «!$$Î/ ¾ÏmÏFs3Í´¯»n=tBur ¾ÏmÎ7çFä.ur ¾Ï&Î#ßâur …. ÇËÑÎÈ  
“Rasul telah beriman kepada al-Quran yang diturunkan kepadanya dari tuhannya. Demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya” (al-Baqarah [2]: 285)

C.      Beriman kepada kitab Allah

Iman kepada kitab-kitab Allah adalah membenarkan dengan penuh keyakinan bahwa Allah mempunyai kitab-kitab yang diturunkan kepada hamba-hamba-Nya dengan kebenaran yang nyata dan petunjuk yang jelas.  Al-Quran adalah kalamullah yang dia firmankan dengan sebenarnya, seperti apa yang ia kehendaki dan menurut apa yang dia ingini. Al-Qur’an sendiri datang dengan syariat yang universal, berlaku umum, untuk setiap zaman dan tempat, menghapus syariat sebelumnya. Dan wajib diikuti oleh setiap orang yang mendengar kabarnya. Sampai Hari Kiamat. Allah tidak menerima agama dari siapa pun selainnya setelah al-Qur’an diturunkan.

D. Beriman Kepada Para Rasul

Pengertian Nabi dibagi menjadi dua:
1.      Menurut bahasa, Nabi berasal dari kata wa an baa a/ nabba, yang berati akhbara (Mengabarkan).
2.      Menurut istilah, Nabi adalah seorang laki-laki yang diberi wahyu oleh Alah berupa syariat yang terdahulu, dan di mengajarkan kepada orang-orang disekitarnya dari umatnya.
       Dan juga pengertian Rasul dibagi menjadi dua: 
1.      Secara bahasa, Rasul adalah orang yang mengikuti beritaberita orang yang mengutusnya; diambil dari ja at al-ibilu rasala ‘unta itu datang beriringan’
2.      Secara istilah, Rasul adalah seorang laki-laki medeka yang diberi wahyu oleh Allah dengan membawa syriah dan dia perintahkan untuk menyampaikannya kepada umat-umatnya.
        Adapun perbeaan antara nabi dan rasul adalah:
1.      Kenabian (nubuwah) adalah syarat kerasulan. Maka, tidak bisa menjadi Rasul orang yang bukan Nabi. Kenabian lebih umum dari pada kerasulan. Setiap Rasul pasti nabi, tetapi tidak setiap Nabi adalah Rasul.
2.      Rasul membawa risalah kepada orang yang tidak mengerti tentang agama dan syariat Allah. Adapun nabi dutus dengan dakwah kepada syariat nabi atau rasul sebelumnya.

E. Beriman kepada Hari Akhir

Meyakini dengan pasti kebenaran setiap hal yang diberitakan oleh Allah dalam kitab suci-Nya dan setiap hal yang diberitakan oleh rasul-Nya berupa kehidupan setelah kematian meliputi: fitnah kubur, adzab dan nikmat kubur, dibangkitkannya manusia dari kubur, padang masyar, catatan amal (shuhuf), hisab, mizan, surga dan neraka.
ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# Ÿ@ÏJtãur $[sÎ=»|¹ öNßgn=sù öNèdãô_r& yYÏã óOÎgÎn/u öÇÏËÈ  
62. “… Siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka…”
 (Al – Baqarah [2] : 62)

F. Iman pada qadha’ dan Qadar

Menurut bahasa qadha’: Hukum (حكم) artinya قضى – يقضي – قضاء ‘Menghukumi, memutuskan’ atau dapat diartikan sebagai perintah, dan khabar.
       Sedangkan menurut istilah: Hukum Allah yang telah Dia tentukan untuk alam semesta ini, dan Dia jalankan alam semesta ini dengan konsekuensi hukumnya dari sunnah-sunnah yang dikaitkan sebab akibatnya.
Menurut bahasa qadar : Menetapkan. Dan menurut istilah : Qadar yaitu ketetapan atau ketentuan Allah sejak zaman azali yang telah di tulis Allah di catatan Lauh Mahfudz dan tidak ada satu mahluk pun yang dapat merubahnya.
             
2.  Berkurangnya Iman Dan Islam Karena Maksiat

Abu Hurairah mengatakan bahwa Nabi Muhammad bersabda : ”Tidak akan berzinah seorang penzinah di waktu bezinah jika ia beriman. Tidak akan minum khamar seseoang diwaktu ia meminum jika ia beriman. Tidak akan mencur seseorang diwaktu dia mencuri jika ia beriman.” (Diriwayatkan al Bukhari)
Ulama ahlus-sunnah mengatakan: “Orang yang melakukan kemaksiatan itu berkurang imannya, atau beriman dengan imannya dan fasik dengan dosa besarnya. Tidak dikatakan iman secara mutlak dan tidak dicabut keimanannya karena maksiat secara mutlak.”
Imam Sufyan ats-Tsaury ditanya: “Apakah iman bertambah dan berkurang?” beliau menjawab dengan ayat :
öNèdöqt±÷z$$sù öNèdyŠ#tsù $YZ»yJƒÎ) (#qä9$s%ur $uZç6ó¡ym ª!$# zN÷èÏRur ã@Å2uqø9$# ÇÊÐÌÈ  
“... Maka, perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab : ‘ Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah lah sebaik – baik pelindung ‘.” (Ali Imran [3] : 17)

öNåk¨XÎ) îpu÷FÏù (#qãZtB#uä óOÎgÎn/tÎ/ óOßg»tR÷ŠÎur Wèd ÇÊÌÈ  
“... Sesungguhnya, mereka itu adalah pemuda – pemuda yang beriman kepada Rabb mereka dan kami tambahkan kepada mereka petunjuk.” (Al Kahfi : 13)

Allah membagi kaum mukminin menjadi dalam tiga tingkatan iman :
1.      Tingkatan yang lebih dahulu mengerjakan kebaikan.
2.      Tingkatan orang – orang yang pertenghan.
3.      Tingkatan orang – orang yang berbuat dzalim terhadap dirinya.


3. Rasa Malu Sebagian Dari Iman

عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِى الْحَيَاءِ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الإِيمَان

Dari Salim bin Abdullah, dari ayahnya, ia berkata, "Rasulullah SAW lewat di hadapan seorang Ansar yang sedang mencela saudaranya karena saudaranya pemalu. Maka Rasulullah SAW bersabda, 'Biarkan dia! Sesungguhnya malu itu sebagian dari iman.'" (Diriwayatkan al Bukhari)

Abu Hatim berkata : “Wajib bagi orang yang berakal membiasakan diri untuk bersikap malu terhadap sesama manusia. Diantara barakah termulia yang di dapat dari membiasakan diri dari sikap malu adalah akan terbiasa berperilaku terpuji dan menjauhi perilaku tercela. Disamping itu, barakah yang lain adalah selamat dari api neraka, yakni dengan senantiasa malu saat mau melakukan sesuatu yang dilarang Allahh. Karena, Bani Adam mempunyai tabiat baik dan buruk saat bermuamalah dengan Allah dan saat berhubungan sosial dengan orang lain.”

Para ulama berbeda pendapat tentang kuat dan lemahnya malu. Sebagian ulama berpendapat bahwa rasa malu berdasarkan hidup dan matinya hati. Jika hati hidup, sempurnalah rasa malu; begitupun sebaliknya.

A.    Allah maha mengetahui lagi maha melihat
 Allah berfirman :
óOs9r& Ls>÷ètƒ ¨br'Î/ ©!$# 3ttƒ ÇÊÍÈ  
“Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya.”
(Al- Alaq [96] : 14)

¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3øn=tæ $Y6ŠÏ%u ÇÊÈ  
Sesungguhnya, Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (An-Nisa [4]: 1)

Hamba yang beriman dan meyakini Allah Maha Mendengar, Maha Melihat, dan Maha Mengetahui segala sesuatu baik yang besar maupun yang kecil, atau lebih dari itu bahwa Allah mengetahui pandangan mata yang berkhianat dan apa yang disembunyikan oleh hati akan tumbuh dalam dirinya sifat malu.

1)      Rasa Malu akan mendatangkan kebaikan
Umran bin Hasan meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:
الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ
 “Rasa malu itu mendatangkan kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari ‘Imron bin Hushain)

Bila rasa malu menghalangi seseorang dari hal-hal buruk, tidak diragukan lagi itu merupakan sifat terpuji yang membawa kebaikan. Bagi orang yang berniat berbuat buruk akan dicegah oleh rasa malunya agar tidak melakukan hal tersebut. Atau ketika dicela orang, rasa malu akan melarangnya membalas keburukan dengan keburukan yang sama.

1)      Malu bagian dari iman
Abdullah bin Umar berkata: “Nabi Muhammad SAW. Melewati seseorang yang mencela saudaranya yang malu, ‘kenapa engkau malu?’ seakan dia mengatakan malu membahayakannya. Maka, Rasulullah bersabda:

دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الإِيمَانِ
‘Biarkanlah dia, sesungguhnya rasa malu adalah bagian dari iman’.”(Diriwayatkan al Bukhari)




BAB III
PENUTUP

1.      Kesimpulan

Keimanan merupakan suatu keyakinan atas pembenaran hatinya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat serta mengamalkan atas apa yang diyakininya tersebut. Lalu, keimanan seseorang dapat bertambah dan dapat pula berkurang. Dimana keimanan seseorang bertambah apabila orang tersebut taat atas perintah – Nya, dan sebaliknya keimanan dapat berkurang apabila orang tersebut berbuat kemaksiatan.

2.      Kritik dan Saran
Demikianlah makalah ini kami buat. Kami menyadari masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam makalah ini, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari saudara/I agar menjadi makalah yang lebih baik. Sehingga ilmu yang terdapat dalam makalah ini dapat memberi kita pemahaman dan manfaat dunia dan akhirat (amin).




DAFTAR PUSTAKA

Musyarrofah, Umi. Hadits Dakwah & Komunikasi. Pondok Gede : Tasnim, 2012.


1 komentar: